Labels

Gie dan Nasib yang Terus Bergerak




Sama seperti para mahasiswa perantau di Jogja pada umumnya, Abe Subangkit punya cita-cita sederhana: lulus cepat, membanggakan nama keluarga, dan jika beruntung, menikah dengan perempuan pilihan Orang Tua. Tapi Jogja menawarkan banyak pada Subangkit yang tak bisa ia tolak. Musik, tawaran teratas Jogja pada drummer yang akrab disapa Abe ini.

Dari berjuta orang di Jogja, Abe punya hutang budi teramat besar pada sahabatnya. Faiz namanya. Dari Faiz keinginan bermusiknya membesar setiap hari. Kebetulan Faiz tahun 2010 bekerja di studio musik. Hampir setiap hari Abe menemani jaga. Bedanya, Abe jaga dalam studio sambil memukul-mukul drum, Faiz di luar studio. Faiz yang menangkap besarnya keinginan bermusik Abe, kadang menemaninya di studio.

"Waktu itu main sendiri dalam studio, plonga-plongo sambil mukulin drum. Rasa kangen sama musik makin besar. Si Faiz ini kadang kasihan kayaknya jadi beberapa kali masuk terus gitaran, mainan Punk kami berdua waktu itu," kenang Abe. 

Momen saat Faiz memberikan selebaran rekruitmen musik Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Musik UMY ke Abe mengubah hidup drummer kelahiran 20 Mei 1990 ini selamanya. Sebenarnya Faiz sedikit iseng saat menyuruh Abe ikut UKM. Biar Abe bisa menemukan bassis, vokalis, dan gitaris lainnya. Biar musik mereka tambah berisik. Padahal Faiz bukan mahasiswa UMY.

Nasib kadang mempertemukan mereka yang saling membutuhkan di tempat dan waktu yang sama. Laiknya Jonathan Trager dan Sara Thomas, yang dipertemukan nasib lewat sarung tangan hitam, uang, dan buku dalam "Serendepity" garapan Peter Chelsom, begitu pula pertemuan Abe dengan orang-orang dalam UKM yang kelak melahirkan GIE. Abe waktu itu ngejamm dengan Mustofa dan Denny Kurniawan. Abe masih ingat betul momen itu, bagaimana wajah semringah Mustofa dan Denny saat jaming. 

"Ternyata Lagu itu cukup membuat Abe tertarik mengajak kami. Lucunya Aku dan Mustofa juga sudah janjian mendirikan band. Mau nyari drummer sama gitaris. Sebuah momen kebetulan yang luar biasa asik waktu itu. Terus habis itu kami bertemulah di studio bersama Faiz," kisah Denny.

Ada yang kurang selama latihan. Keempatnya ternyata masih membutuhkan vokalis dan lead gitar. Faiz, Shinjo, Abe, dan Mustofa cari orang yang bisa mengisi dua posisi tersebut. Saat proses mencari personel, tiba-tiba Abe dan Mustofa diajak bergabung ke band yang didirikan Gatralaringal. Gitaris flamboyan di UKM Musik UMY ini sempat diusulkan Shinjo mengisi posisi lead tapi karena Gatra sudah punya band, batal niat itu. Alih-alih menerima tawaran Gatra, Abe dan Mustofa malah mengajaknya gabung ke band mereka.

"Jadi ingat momen pas ngajak Gatra itu Shinjo dalam kondisi mabuk, hahahaha jiwa remaja biasalah. Mulanya mikir itu Gatra,'kok aku diajakin ngeband sama orang mabuk' tapi akhirnya dia mau tapi mengajukan syarat bahwa di band tidak ada ajakan untuk mabuk. Latihan pertama dia langsung bawa vokalis, Firman namanya. Cocok banget sudah, jadilah akhirnya kami ngeband," sambung Abe.

Apalah arti sebuah nama, kata Shakespeare. Tapi jika pertanyaan itu diajukan ke orang-orang yang kehormatannya dimatikan Orde Baru (Orba), barangkali bakal dijawab dengan sederet pernyataan menyayat. Nama laiknya makam, kekancing bahwa manusia punya masa silam. Nama mampu menyingkap masa lalu sekaligus wangsa puak yang kelak bisa diwariskan. Kelima anak-anak muda ini paham betul soal itu. Meski bingung, mereka sadar memberi nama band yang tengah diperjuangkan. Marsudi, itulah nama yang dipilih Mustopha, Shinjo, Abe, Faiz, Firman, dan Gatra di November 2010. "Bulan Februari 2011 baru nama Gie diresmikan setelah kami bersama-sama melihat film Soe Hok Gie lalu melacaknya pemikirannya lewat buku-bukunya. Nasib baik, setelah memakai nama GIE mulai ada tawaran untuk manggung," beber Gatra.



Mulanya GIE meraba Jazz. Sok nge-Jazz kata Abe padahal saat reguler di sejumlah cafe mereka memainkan Classic Rock. Di tengah kehidupan dua dunia itu GIE sempat membuat tiga karya. Musiknya mereka namai Jazz Oplosan lantaran tidak 100 persen nge-Jazz. Ada "Be Happy", "Kucari Kau Lewat Mimpi,", dan "Cafe Radio". Sayang dua tahun bersama nasib buruk mendatangi mereka. Tahun 2012 GIE kehilangan Faiz yang pindah ke Luar Jawa. Satu tahun setelahnya, giliran Firman pergi karena mau fokus studi mengejar cita-citanya menjadi dokter. Sementara Abe, kala itu, sudah kadung merelakan cita-cita sederhan yang sempat diyakininya ketika kali pertama menghirup udara Jogja.



Related:




Terms · Press · Contact