Sebelum memutuskan untuk merekam karya-karyanya, Gie melalui proses yang panjang dan tidak mudah. Dimulai dari materi lagu, butuh waktu untuk menciptakan karya yang minimal siap rekam dan siap dengar. Barangkali memang tak ada standarisasi lagu seperti apa yang siap dengar, tapi siap dengar di sini menurut Gie - yang mengaku mungkin belum begitu baik kualitas bermusiknya, adalah siap dengar untuk Gie sendiri.
Di tengah proses tersebut, Gie tidak jarang keluar masuk studio, baik rental yang berbayar ataupun di tempat salah satu personil untuk menghindari pengeluaran biaya. Sedikit menguak proses atau alur pembuatan mini album tersebut misalnya, setelah Gatra mempresentasikan materi lagu (karena memang Gatra yang membuat materi lagu Gie sebelum didiskusikan dan diarasnmen bersama), setiap personil mendengarkan dan membuat isian atau aransemen minimal sesuai dengan pegangannya masing-masing. Misalnya Abe membuat isian untuk drum di setiap part lagu, begitu juga personil yang lain. Setelahnya baru bersama-sama di studio sampai dipresentasikan, didiskusikan, sampai akhirnya menjadi satu kesatuan musik sesuai kesepakatan bersama.
Proses tersebut memakan waktu sekitar 4 bulan. Setelah semua materi dan aransemen dinilai siap, muncul permasalahan baru terkait biaya untuk rekaman. Dana kas Gie yang disisihkan setiap kali manggung ternyata masih jauh dari kata cukup. Akhirnya Gie memutuskan untuk kerja rodi dan puasa gaji demi terealisasinya perekaman ini. Mereka tidak jarang ngamen untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah, mulai dari kafe, pernikahan, festival musik, sampai turun ke jalan di Sunmor UGM.
Setelah Gie merasa dana sudah cukup terkumpul, mulailah mereka merekam karya-karya mereka. Bagi sebagian orang terkadang waktu mungkin jadi penghalang, tapi tidak berlaku di proses ini. Abe, yang saat itu sedang bergelut dengan skripsi dan tugas akhir studinya justru mengerjakan skripsinya di sela-sela proses rekaman. Segalanya berjalan lancar, sampai pada hasil final audio kurang lebih menghabiskan waktu sekitar 4 bulan.
